Pages

Monday, January 31, 2011

HUKUMAN DAN HADIAH MENURUT IBNU KHALDUN

Para pendidik memiliki tanggung jawab yang besar dalam bidang pendidikan. Betapa banyak orang tua merasa senang ketika melihat buah hatinya adalah malaikat-malaikat yang berjalan di muka bumi, ketika jantung hatinya adalah mushaf Al-qur’an yang bergerak di kalangan manuisa.
Tetapi, apakah seorang pendidik boleh merasa cukup hanya dengan menunaikan tanggung jawab dan kewajiban tersebut, lantas berpangku tangan, ataukah harus menambah metode baru dan senantiasa mencari kesempurnaan?. Pendidik yang baik, tentu terus akan mencari metode yang lebih efektif sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna. Adapun mengenai masalah metode yaitu:

Pendidikan dengan Memeberikan Hukuman
            Pada dasarnya syariat Islam yang lurus dan adil, prinsip-prinsipnya yang universal, berkisar disekitar penjagaan bermacam keharusan asasi yang tidak bisa dilepaskan oleh umat manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa hukum. Begitupun dengan para pendidik dirumah atau di sekolah berbeda-beda dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan hukuman yang diberikan kepadaorang-orang umum.
Di bawah ini metode yang dipakai Islam dalam upaya memberikan hukuman kepada anak:

 1. Lemah-lembut dan kasihsayang ialah dasar perkembangan anak.
            “Hendaklah kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang dan hindarilah sikap keras serta keji.” (HR.Bukhari dalam Adabul Mufrit)
Dengan demikian anak mendapat prioritas tinggi dengan arahan Nabawi ini kepada kelompok mereka yang harus mendapatkan pemeliharaan, kelemah-lembutan dan kasih sayang. Yang menguatkan bahwa muammalah dengan kasih sayang dan sikap lemah lembut sebagai dasar
ialah kasih sayang Rasulullah Saw. terhadap anak-anak.

2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
            Anak-anak dilihat dari segi kecerdasannya berbeda-beda, baik lenturan maupun pemberian tanggapannya. Juga berbeda dari segi pembawaan tergantung pada perbandingan masing-masing.
Bagi kebanyakan ahli pendidikan Islam, di antaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Kaldun melarang pendidik menggunakan metode hukuman kecuali dalam keadaan darurat. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menetapkan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersikap penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Ibnu Khaldun berkata, “Pendidik yang bersikap keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk berdusta karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah dimukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat maker dan tipu daya yang berkembang menjadi kebinasaanya. Dengan demikian rusaklah mekana kemanusiaan yang ada padanya.
Jadi pendidik hendaknya bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingakat kecerdasan anak, pendidikan dan pembawaannya.

3. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan
hingga yang paling keras.
            Pendidik itu ibaratkan dokter, sebagaimana dikatan Imam Ghazali, jika dokter dilarang mengobati orang sakit dengan suatu pengobatan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, maka demikian pula halnya dengan pendidik, tidak boleh menyelesaikan problematika anak-anak dan meluruskan kebengkokkannya, umpamanya hanya dengan mencela. Sebab kemungkinan bagi sebagian anak malah akan menambah penyimpangan dan kenakalannya. Ini berarti pendidik harus memperlakukan peserta didik sesuai dengan tabiat dan pembawaannya serta mencari faktor yang menyebabkan kesalahannya.
Rasulullah Saw. Meletakkan beberapa metode dalam penyelesaian masalah anak tersebut, yaitu;
1) Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan
            Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah ra. Ia berkata, “Ketika aku kecil, berada dalam asuhan Rasulullah Saw. Pada suatu hari ketika tanganku bergerak kesana kemari diatas meja makanan yang berisi makanan, berkatalah Rasululla Saw., ‘Wahai anak, sebutlah nama Allah. Makanlah dengan tangan kananmu. Dan makanlah yang dekat denganmu’.”
2) Menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah
            Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal Sa’ad ra. Bahwa Rasulullah Saw. Diberi minuman, dan beliau meminum sebagian. Di kanannya duduk seorang anak, dan disebelah kirinya orangtua. Rasulullah Saw. Berkata kepada anak itu, “Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka? (ini adalah ramah tamah dan metode pengarahan). Maka anak itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Bagianku yang diberikan oleh engkau, tidak akan saya berikan kepada siapapun’. Maka Rasulullah meletakkan minuman di tangan anak itu. Dan dia adalah Abdullah bin Abbas.”
3) Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat
            Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
            “Fadhal pernah mengikuti Rasulullah Saw. Pada suatu hari datanglah seorang wanita dari Khuts’um yang membuat Fadhal memandangnya dan wanita itupun memandangnya. Maka Rasulullah memalingkan muka Fadhal kearah lain. Wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban yang diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam ibadah haji sampai-sampai kepada ayahku, ketika ia tua renta, yang tidak mampu lagi menunggang (unta). Apakah aku boleh menghajikan unutknya?, Rasulullah berkata,’Ya’. Dan peristiwa itu adalah
dalam haji wada’.”
Dalam hadits tersebut Rasulullah memperbaiki kesalahan melihat wanita bukan muhrim dengan memalingkan wajah kearah lain, dan telah meninggalkan bekas pada diri Fadhal.
4) Menunjukkan kesalahan dengan kecaman
Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzar ra., ia berkata , “saya mencaci seorang laki-laki dengan menjelekkan ibunya, (yaitu dengan berkata,’Hai anak wanita hitam’). Maka Rasulullah Saw. Berkata ,’Wahai Abu Dzar, kamu telah mencacinya dengan menjelekkan ibunya. Sesungguhnya kamu masih berprilaku jahilliyah. Saudara-saudaramu ialah hamba sahayamu yang Allah jadikan mereka dibawah tanganmu. Barang siapa yang sudaranya dibawah tangannya, maka hendaknya ia memberi makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian apa yang ia pakai, janganlah mereka diserahi pekerjaan yang sekiranya tidak mampu mereka kerjakan, dan jika pekerjaan itu diserahkan, maka bantulah mereka,”.
5) Menunjukkan kesalahan dengan memukul
Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Serulah anak-anak kalian mengerjakan sholat sejak mereka berusia tujuh tahun, pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka,”
Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam. Dan ini dilakukan pada tahap terakhir, setelah nasehat dan meninggalkannya. Tata cara yang tertib ini menunjukkan pendidik bahwa tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermnfaat. Sebab, pukulan ialah hukuman yang paling berat, tidak boleh menggunakannya kecuali jika
dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Adapun persyaratan memberikan hukuman pukulan adalah sebagai berikut;
1. Pendidik tidak terburu menggunakan metode pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut yang mendidik.
2. Pendidik tidak memukul dalam keadaan sangat marah, karena dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadp anak.
3. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka dada dan perut.
4. Pukulan untuk hukuman hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti pada kedua tangan atau kaki dengan benda keras.
5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun.
6. Jika kesalahan anak ialah untuk yang pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang dilakukan, memberi kesempatan untuk meminta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman tetapi mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.

2. Menghindari Kekerasan Terhadap Murid

          Ibnu Khaldun mengharuskan kepada guru agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani anak (peserta didik). Jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor. Sementara pemberlakuan sanksi (punishment) bisa dilakukan, tetapi sanksi tersebut bersifat edukatif. Sanksi ini hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah-lembut tidak berhasil). Dengan begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan Islam

0 Coment:

Post a Comment