Pages

Monday, January 31, 2011

PSIKOLOGI DALAM RUMUSAN AGAMA


Definisi Agama dari Perspektif Psikologi

Karena kemuskilan merumuskan agama, para psikologi yang meneliti agama berusaha menghindarinya pada permulaan pembicaraan.”setiap definnisi agama”kata yinger (1967:18),”mungkun hanya memuaskan perumusnya.”pada bagian pendahuluan ini, saya akan berkata persis seperti george coe (1929:441):
Secara sengaja saya tidak memberikan definisi formal agama…sebagian karena definisi sangat sedikit mengandung informasi tentang fakta;sebagian lagi karena sejarah definisi agama hampir dapat memastikan bahwa setiap upaya baru untuk membuat definisi selalu mempersulit bab-bab pendahuluan ini.
Akan tetapi, kita tidak dapat melnjutkan pembicaraan tentang agama tanpa menjelaskan lebih dahulu apa yang kita maksud.katakanlah, kita ingin meneliti cinta dan pengaruhnya pada kesehatan jiwa. Kita harus mengindentifikasi dahulu apa yang disebut cinta. Tanpa kita  ketahui apa cinta itu sebenarnya, peneliti kita akan melantur ke sana kemari. Kita harus membuat definisi cinta terlebih dahulu.kita akan segera kebinggungan karena cinta ternyata sukar didefinisikan.cinta bukan untuk didefinisikan;cinta ada untuk dirasakan. Jadi, bagaimana kita meneliti cinta tanpa mendifinisikannya?
Para ilmuan mempunyai cara unik untuk mengatas persoalan ini . mereka membuat definisi sementara,suatu definisi yang khusus dipergunakan agar dapat melakukan penelitian. Definisi itu tidak menegaskan esensi cinta. Peneliti bukanlah esensialnya,yakni orang yang berusaha mengidentifikasi konsep sapai ia tahu apa hakiikat atau esensi cinta sebenarnya.ahli-ahli peneliti berusaha menemukan metode atau prosedur penelitian.definisi itu disebut definisi operasional. Untuk setiap penelitian, ada definisi opersional inilah, dilahirkan definisi esensial.
Dean hoge (1997:21-41), sebagai misal, meneliti agama di amerika. Ia kebingungan untuk menemukan definisi agama yang dijadikan pegangan.apalagi muncul kelompok orang yang mengaku dirinya tertarik pada pengembangan spiritual, tetapi tidak menganut agama.”iam spiritual but not religius,” kata mereka. Hoge kemudian membagi agama menjaddi lima entitas:prepensi agama, afiliasi keagamaan (church affliation), keterlibatan keagamaan (church involvemant), keimanan agama, perilaku agama personal. Masing-masing ia definisikan secara operasional. Sebagai contoh, keimana agama dirumuskan sebagai contoh, keimanan agama dirumuskan sebagai kepercayaan kepada tuhan atau ajaran tuhan sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab suci. Perilaku agama personal diukur dengan kegiatan, seperti sembahyang, membaca kitab suci, menelah teks keagamaan, dan perilaku lain yang mendatangkan manfaat spiritual, seperti mengukur makanan.

Agama Personal dan Sosial

Dari mana kita dapat merumuskan definisi operasional?kita harus menjabarkan konsep agama pada bagian-bagian yang dapat kita amati. Agama muncul di tengah-tengah kita sebagai pengalaman personal dan sebagi lembaga sosial. Pada tingkat personal, agama berkaitan dengan apa yang anda imani secara pribadi, bagaimana agama berfungsi dalam kehidupan anda, bagaiman pengaruh agama pada apa yang anda pikirkan, rasakan, atau lakukan kita melihat agama personal, misalnya, pada seorang artis yang berkata, “dengan mengenakan jilbab, aku merasakan diriku terlindungi”;atau pada seorang pejabat yang menangis (serius) di depan ka’bah, menyesali (ini sih bisa seriua atau pura-pura) betapa ia telah mengambil hak rakyak dengan seenaknya;atau pada kelompok’reborn christian” di kampus-kampus amerika yang bersemangat untuk menyelamatkan dunia; atau pada orang-orang seperti ken wilber yang memiliki pandangan-dunia yang unik settelah belajar zen buddhiame.
Pada tingkat sosial, agama dapat kita lihat pada kegiatan kelompok-kelompok sosial keagamaan. Mereka bisa saja berafiliasi dengan agama-agama dunia sekadar berkaitan dengan sekte atau kelompok sempalan tertentu. Jadi, kita melihat agama islam, kristen, hindu atau (maaf) agama jawa. Peneliti agam disini melihat bagaimana agama berinterakdi dengan begian-bagian masyarakat lainya atau bagaimana dinamika kelompok terjadi dalam organisasi keagamanan. Kita melihat agama sosial, misalnya, pada acara asyura, haji, peringatan natal, ngaben, dan sebagainya. Setiap diri kita adalah bagian dari angota kelompok keagamaan. Tidak perlu ada kesusilaan- sering bahkan trjadi pertentangan-antara kepercayaan secara personal dan kepercayaan yang dianut kelompok agama kita.kelompok saya melihat kesalehan pada pelaksanaan ajaran fiqh, sedangkan saya sendiri melihat kesalehan dalam kontribusi orang pada kemanusiaan.


Konseptualisasi Agama dalam Matriks


Fungsi
(1)
Subtansi
(2)
Personal
(1)
Apa saja yang memnuhi tujuan keagamaan individu; seperti memberikan makna, mengurangi rasa bersalah, memberi bimbingan moral, membantu menghadapi maut, dst.
Kepercayaan individu yang khusus kesadaran personal akan adanya yang sakral, transenden, dan ilahi.
Sosial
(2)
Apa saja yang menjalankan fungsi agama di masyarakat. Berjalannya proses kelompok dalam kelompok agama
Perumusan ajaran agama yang resmi. Konsensus kelompok tentang kepercayaan dan praktik. Sikap di hadapan publik yang diambil gereja, sinagong, mazhab, sekte.
Mengingat munculnya kritik atas semua pendekatan di atas, tampaknya cara terbaik untuk menggembarkan agama ialah menggabungakan semuanya. Saya mengutip paloutzian untuk menempakkan agama secara sederhana dan sekaligus memberikan peta penelitian keagamaan:

Tabel 1 konseptualisasi agama berdasarkan tingkat analisis
                                                       personal-sosial, fungsi-subtansi                      

mari kita baca tabel ini. Pada garis 1 kolom 1, kita menganalisis agama pad individu yang beragama. Bagi dia, secara fungsional, agama memberikan makna pada berbagai peristiwa yang dihadapinya atau memberikan bimbignan moral bagaimana seharusnya ia bertindak di tengah-tengah manusia. Pada baris kolom 1 kolom 2, agama yag dianut orang itu merupakan keyakinan yang khas bagi dirinya. Ketika kecil, misalnya, iqbal diberi nasihat oleh ayahnya untuk membaca al-qur’an seakan-akan ia turun untu dirinya. Selanjutnya, setiap ayat al-qur’an mepunyai khusus bagi iqbal, yang boleh jadi tiadak sama dengan makna sebagaimana dipahami orang lain. Kesadaran-diri iqbal pada kitab suci tidak sama dengan kesadaran kawan-kawannya. Bolehjadi juga tidak sama dengan makna yang disepakati oleh para penafsir ahl-sunnah.
Yang terakhir ini membawa kita pada baris 2 kolom 2. Ada sejumlah kepercayaan, kayakinan, atau tiadak yang disampaikan oleh agama sbagai lembaga sosial. Penafsiran resmi kitab suci, doktrin keagamaan resmi yang sudah menjadi kesepakatan para anggota institusi keagamaan itu, dan ssebagainya. Jika kita berbicara tentang bagaimana agama dapat berbicara tentang agama dalam tingkat analisis sosial berdasarkan fungsi: baris 2 kolom 1.

Psikologi Agama Yang Dinamis

            Kurang tepat bila kita dikatakan bahwa manusia adalah makhluk religius. Yang lebih tepat yaitu manusia adalah makhluk yang berkembang menjadi religius. Sebab manusioa itu bukan hal statis dan tidak berubah-ubah, melainkan suatu dinamika yang konkrit. Oleh karena itu psikoogi pun- kalau tidak mau meleset dari obyeknya harus bercorak demikian.
            Maka yang kami akan bahas dalam buku ini ialah kejadian religius manusia. Maksud kami bukan pertama-tama kejadian dalam arti kronologis, melainkan dalam arti struktural. Manusia yang berkembang itu kompleks adanya. Memang ia merupakan kesatuan, tetapi didalam kesatuan itu terdapat berbagai unsur-unsur tersebut yaitu pengalaman, perasaan, hasrat, ikiran, keputusan, “lingkungan luar” yang menerobos masuk kedalam hidup manusia, dan last but not least kehadiran oranag lain. Unsur-unsur inilah yang bersama-sama membentuk manusia. Nah, dalam perkembangan atau kejadian seorang manusia unsur-unsur tersebut lambat laun mendapat suatu struktur, mencapai suatu sintesa, menjadi suatu kesatuan.
            Hal ini berlaku untuk perkembangan atau pertumbuhan manusia menurut segala seginya, entah moral, sosial, pootik atau religius. Oleh karena itu masalah yang mau diutarakan dalam psikologi agama ini berbunyi: apakah peranan yang dimaikan oleh unsur-unsur tersebut dalam kejadian religius manusia? Bagaimanakah unsur-unsur itu disusun dan diperkembangkan dalam diri manusia sampai akhirnya terbentuklah suatu “religius attitude” sutu sikap lahir-bathin yang benar-benar beragama? Dengan istilah “religius attitude” kami maksudkan suatu sintesa dinamis dari unsur-unsur tadi. Mentelidiki bagaimana sintesa ini terwujud, itulah tujuan psioogi agama yang dimanis.

Agama sebagai Obyek Psikologi

            Agama menyangkut allah atau-lebih umum-“nan illahi”, artinya segala sesuatu yang bersifat Allah atau dewa, ataupun termasuk lingkungan Allah atau dewa-dewa. Sebaliknay psikologi menyangkut mausia dan lingkungannya. Oleh karena itu, psikologi tidak dapat mengeluarkan satu pernyataan pun tentang Allah. Bahkan adanya Allah tidak bisa di-ya-kan atau disangkal oleh psikologi terikat pada pengalaman dunia ini, sedangkan Allah mengatasi pengalaman tersebut. Kalau begitu bagaimana mungkin psikologi membahas agama? Bukankah usul semacam itu sudah gagal sebelum mulai, karena Allah slalu luput dari pendekatan ilmiah yang bersifat empiris?
            Pertama-pertama harus menjawab bahwa obyek psiologi agama bukan Allah melainkan manusia, yakni manusia yang beragama. Nah, ciri khas ialah kesadaran akan dirirnya sebagai subyek tang terarah kepada obyek. Baik kesadaran maupun kelakuan manusia besifat intensional, artinay terarah kepada sesuatu yang lain (dari pada kesadaran itu sendiri). Subyek selalu keluar menuju obyeknya. Maka subyek dan obyek merupakan du kutub yang dalam suatu relasi yang bersifat intensional
            Kedua harus dijawab bahwa tindakan beriman (percaya kepada Allah, menyerahkan diri kerpadanya) adalah tindakan manusiawi (‘human act”) dan oleh karena itu terbuka untuk penyelidikan psikologi memang, bahwa tindakan tersebut sekaligus anugerah tuhan, itu tidak dapat diketahui psikologi, maka tiadak dapat di-ya-kan atau disangkal olehnya. Hanya segi manusiawi dari iman yang dapat didekati secara psikologis. Justru karena iman itu selalu iman seseorang manusia, maka iman tidak mungkin tanpa “agama” dalam arti : ungkapan-ungkapan iman berupa pikiran dan perasaan, keyakinan dan tingkah laku. “iman yang telanjang” itu abstraksi belak, roh tanpa badan, maka itu tidak manusiawi. Nah, mengiggat manusia selalu harus menggungkapkan imannya kedalam rupa-rupa bentuk religius, maka penyelidikan ungkapan-ungkapan beragama itu oleh psikologi dan ilmu pengetahuan lainnya dapat kita benarkan, asdal si penyelidikan tetap ingat akan batas-batas ilmu pengetahuannya. Bahkan harus diaktakan bahwa teologi memrlukan psikoogi agama dan tidak boleh menutup mata terhadap sumbangan ilmu pengetahuan, termasuk psikologi, yang menyelidiki iman dan agama dari sudut masing-masing ilmu.
                        Ketiga dan terakhir harus dijawab bahwa soal benar tidaknya suatu agama tidak dapat dipecahkan oleh psikologi atau ilmu pengetahuan empiris lainnya[1]. Kebenaranyang dikejar oleh psikologi bukanlah kebenaran teologis atau metafisik, melainkan psikologis. Miasalnya dalam mempelajari mengapa manusia berkelakuan beragama, psikologi (“untuk mengatasi frustai”,”untuk menjaga tata moral dan kemasyarakatan”,” untuk mengatasi kekuatan”, dll). Penyelidikan psikologis semacam itu tidak mau menyankal hasil penyelidikan teologis, tetapi melengkapinya, sebab memperlihatkan bahwa hubungan manusia dengan Allah itu terjalin secara mendalam dengan apa yang manusiawi dalam diri kita. Maka psikologi agama menyadarkan kita akan perlnuay pemurnian motivasi, agar motivasi itu betul-betul religius sifatnya.


[1] . dalam hal ini ilmu jiwa tidak mempersoalkan apakah suatu agama benar atau tidak benar, apakah dikaruniakan oleh tuhan atau tidak, doal-doal semacam itu adalh diluar jiwa agama” N. DRIJARKARA, pertjikan filsdafat jakarta 1964.h.165)

0 Coment:

Post a Comment